Oleh: Maryam Afifah
Sejumput
asa menggumpal didada, ada relung hati yang dirindu, saat pagi menyapa sang mentari, saat
burung-burung bernyanyi melantunkan nada yang indah, saat dunia bahagia karena
cerahnya sang surya.
Trap..trap..trap..Disya
menuruni tangga lantai dua, tempatnya menginap.sudah seminggu Dia meninggalkan
Jakarta, kota kelahirannya. Menembus
awan, mencari jati diri.
Namanya
Disya, gadis berjilbab yang duduk dikelas 1 SMA, sedang menjalankan tugasnya
sebagai seorang seniman muda berbakat.
Ini hari terakhir untuknya,
karena pameran yang diluncurkannya bersama dengan krunya didaerah
pegunungan, telah berjalan dengan sukses.
Banyak lukisan, puisi pun novel-novelnya yang laris terjual.
Masyarakat setempatpun menyambutnya
dengan baik.
Matahari
mulai memainkan perannya, Disya sudah siap dengan koper, tas Ransel, dan
mobilnya didepan gerbang sudah siap untuk dikendarai. Tidak perlu berpikir panjang untuk
meninggalkan tempat itu, ia pun melaju kencang mengejar sang angin. Rasa tak sabar dihatinya untuk bertemu dengan
sang Ummi yang menunggu..
Pemandangan
sepanjang jalan membuatnya terlamun, teringat sang Ummi yang sedang kritis
dirumah sakit. Umminya memang sudah lima
bualn dirawat dirumah sakit. Gagal
Ginjal yang sudah menyerang sang Ummi hingga fatal akhirnya dan ginjal itupun
harus diangkat. Sebenarnya Disya agak
ragu untuk meluncurkan pameran dan pergi meninggalkan Umminya sendiri. Tapi, sang Ummi tak mau menghalangi
kesempatan anaknya untuk meraih impiannya.
Pun biaya yang dibutuhkan sangat banyak untuk berobat, apalagi sang Ummi
harus sering-sering cuci darah. Disya
pun berangkat demi mendapatkan uang untukberobat sang Ummi.
Perjalanan
masih panjang, memeng butuh waktu lama untuk kembali ke Ibu kota . perjalanan itu melelahkan Disya.mobil yang
melaju kencang, pohon-pohon yang bergerak semu, awan yang berjalan, setia menemaninya melewati perjalanan panjang
ini.
Kring..kring..kring..terdengar
deringan Hp dari tas ransel milik Disya.ketika diangkat. Terdengar sapaan salam kepadanya
“Assalamualiakum..,”
“waalikum
salam..,”jawabnya pelan
“
dengan saudari Disya..?,”
“ya,
ada apa?,”
“saya
dari pihak RS Cipto Mangun Kusumo ingin memberitahu saudari bahwa Ibu anda
sudah harus segera cuci darah. Akan
fatal akibatnya kalau hal ini terlambat dilakukan,”
“ehm..baik, saya sedang dalam perjalanan ke Jakarta. Insya Allah hari ini semua pembayaran akan
saya lunasi.,”jawabnya tegar.
Perasaan
Disya sangat gelisah, pandangannya memburamoleh sebutir air mata dipelupuk mata
sayunya. Dan perlahan jatuh menjadi
percikan harapan agar waktu cepat berlalu.
Sesampainya
disana, dilihatnya Umminya masih dalm keadaan tidak sadar. Disya hanya mampu menatap Umminya. Tanpa sapa, tanpa kata kalau dia telah sukses
dalam pameran perdananya. Tiba-tiba dia
menangis, menatap wajah pucat sang Ummi yang terbaring lemah tak berdaya. Dengan sayang diusapnya kening Umminya
“Ummi,
Disya datang, maafkan Disya karena Disya lama kembali. Seperti yang Ummi mau Disya sudah mendapatkan
apa yang Disya mau. Ummi buka mata Ummi
(menangis) Disya punya sebuah lukisan khusus untuk Ummi,”
Disya
meneteskan air mata rindunya. Ia hanya
bisa berharap dan berharap.
“Ummi..,”
Disya
tak tahu apa yang terjadi, namun saat dia mengusap kening Umminya semua terasa dingin. Dengan segera dia memanggil Dokter.
Ya
Allah, aku tak pernah meminta angin tuk menghempas gelisah ini. Kubiarkan dia berlalu..tapi mengapa??
Tiba-tiba menyesakkan dadaku, ku tak bisa menahannya. Perasaanku terluka, desah Disya dalam hati.
Beberapa
jam Disya menunggu, wajahnya memucat.
Tak lama tubuh mungilnya trgeletak.
Jatuh.
Kepalanya
masih pusing. Matanya terasa berat. Tapi dia ingin mencari dokter yang menangani
Umminya. Dan ketika dia memasuki ruangan
tempat dimana sang Ummi dirawat
“Ummi..ya
Allah..,”didapatnya raga Umminya yang telah terbungkus kafan putih. Umminya telah berpulang kehadirat-Nya. Disya terisak, dia belum percaya secepat ini
dia harus kehilangan sang Ummi untuk selamanya.
Senja
indah menjadi saksi perginya Ummi tersayang.
Menjadi sejarah akan akhir hidupnya..
Disyapun
pulang. Isaknya belum berhenti. Sebentar kemudian dia menengadah
kelangit. Senja yang indah melukis wajah
Ummi. Diapun tersadar, Umminya yang telah tiada namun kan selalu
menemaninya. Ketika senja yang indah.
Bagaiakan bunyinya detak jarum, jam suara itupun sangat terasa. Disya, dan apa yang ia impikan kini telah ia
capai. Mimpinya menjadi seorang seniman terkenal. Karyanya yang dikagumi orang-orang. Namun apa artinya, jika lukisan dengan raut
wajah sang Ummi, yang semula hendak dia berikan untuk Ummi. Takkan pernah bisa lagi untuk dia
berikan. Namun kini wajah Ummi telah
terlukis oleh senja yang indah.
The End--
Assalwa Community