Oleh: Nurul Hidayah Sidar
Hatiku
galau. Senang, sedih, bahagia, pun duka
bercampur jadi satu. Betapa sangat berat
hatiku meninggalkan tanah kelahiran tercinta ini. Tempat ku lahir dan dibesarkan disalah
satu pulau terkaya yang dimiliki
Indonesia, Tarakan Paguntaka. Pun
orang-orang yang hidup bersamaku didalamnya.
Sungguh berat rasanya perpisahan
ini
“ Udah
bun, jangan nangis mulu dong,” kuulurkan tissue pada Bunda yang duduk
disampingku
“kalau
kamu diposisi Bunda juga bakal kaya’ gini..gimana sich rasanya bakal
ditinggalain anak! Cewek satu-satunya lagi..hu..,”Bunda kembali terisak.
“gimana
dong Yah? ,”
Ayah
hanya mengulum senyum. Kukira beliau merasakan
hal yang sama dengan yang dirasakan Bunda.
“tapikan
Yaya Cuma sebentar Bunda,”kucoba kembali berdalih
“sayang,
kuliah diluar negeri butuh waktu yang tidak sebentar,”
Aku
terdiam. Apakah aku salah mengambil
keputusan?? ah..ku kira tidak, aku sudah memikirkannya matang-matang. Menerima Beasiswa, untuk kuliah di negeri Firaun. Lagipula aku berjuang keras mendapatkannya.
Pada
awalnya keluargaku tidak keberatan.
Malah kakak laki-lakiku yang diSumatera itupun mendukung sepenuhnya
kepergianku meninggalkan Bumi Paguntaka, tanah kelahiran tercinta.
“apa sih yang nggak buat ilmu, demikian alasannya
yang semakin membulatkan tekadku..
“Bunda,
bukan maksud Yaya mau ninggalin Bunda..Bunda ngertikan..??,”
“Iya,
Bunda ngerti..Bunda cuma pengen nangis aja, boleh kan,??”
Kuulurkan
tissue untuk yang kesekian kalinya.
Bunda, andai kau tahu betapa ku menyayngimu.
“nak,
check-in sekarang..??,” Tanya Ayah kemudian
“Jam
keberangkatan masih sejam lagi Yah, lebih baik kita sholat Asar sekarang,”
Kami
bertigapun menunaikan sholat Ashar dimushola Bandara Juwata. Bunda sudah agak tenang. Kulihat mata sayunya yang sedikit membengkak
“Bun..Bunda
benar-benar ridhokan Yaya kuliah di Mesir..,”tanyaku pelan. Sebenarnya aku tak ingin mengungkit
pertanyaan ini lagi. Tapi hatiku belum
tenang. Aku ingin kepastian dari Bundaku
sayang.
“kalau
dibilang ridho, sudah tentu Bunda ridho, toh Yaya ingin menuntut ilmu. Tapi Bunda belum siap aja..ntar Bunda nyampe
dirumah, Bunda gak liat putri cerewet Bunda lagi..,” pelan Bunda berkata
“sayang..nuntut
ilmu juga bisa disini..,”lanjut beliau lebih pelan lagi.
“Bun..,”tegur
Ayah
Aku
menangkap nada kecewa Bunda. Entah,
sepertinya Beliau bimbang melepaskanku.
Atau mungkin Bunda masih membutuhkanku..
“Bun..bukannya
Yaya tidak ingin kuliah disini, Yaya ingin pengalaman lebih, lebih banyak
teman, merasakan alam pendidikan yang berbeda dari yang selama ini Yaya
tahu..,”
“yang
Yaya katakan benar Bun, kalau anak melakukan suatu yang baik, sebagai orang tua
kita harus mendukungnya..,”
“iya, Bunda
ngalah. Bunda bukan bermaksud menghalangi Yaya kuliah di Mesir, hidup mandiri
dinegeri orang..Bunda bukan bermaksud seperti itu, Bunda Cuma..hu..hu..,”Bunda
kembali terisak dipelukanku,Bundaku cinta,Bundaku sayang
Dadaku
sesak,mataku panas. Kalau bukan karena
ingin menunjukkan ketegaranku didepan Bunda, tentu aku sudah menangis
serta. Tapi aku sedikt lega, ternyata
Bunda ikhlas dan mendukungku sepenuhnya.
Teringat dirumah, setiap kutanyakan perihal ini pada Bunda, apakah Bunda
setuju dengan keberangkatanku atau tidak, Bunda hanya diam tidak menjawab. Sampai akhirnyabeliau bersedia menemaniku
kebandara ini dengan sedikit paksaan Ayah.
Ah, entahlah
“nak,
sepuluh menit lagi, sebaiknya kamu masuk keruang tunggu sekarang,”saran Ayah
Berat
kuberdiri. Kuambil tangan kasar Ayah dan
menciumnya. Ayahku, pejuang hidupku.
“sampai
di Soekarno-Hatta, segera telepon Ayah, setiap transit di wilayah manapun,
sempatkan untuk menelpon kerumah..”
“Iya
Yah, Bun..Yaya pamit..doain Yaya Bun..,”kucium tangan Bunda dengan
khidmat. Tangan yang membesarkanku
dengan penuh cinta dan kasih, hingga kubesar seperti ini.
“hati-hati
sayang, doa Bunda selalu bersamamu, walau Bunda jauh dari Yaya, Bunda kan
selalu memantau dan menjaga Yaya..,”
Bunda mencium kedua mataku. Ahh.. aku harus
kuat. Kulepaskan pelukan hangat
Bunda. Sebuah koper besar menemaniku
keruang tunggu penumpang. Beberapa menit
kemudian, setelah check-out, sebuah bus mini membawaku dan penumpang lainnya
menuju badan pesawat.
Mataku
panas. Tak kuat menahan air mata yang
sedari tadi hendak keluar. Bandara
Juwata saksi bisu perpisahanku dengan kedua orangtuaku terkasih.
Pesawat semakin meninggi..meninggalkan tanah kelahiranku, Tarakan
Paguntaka. aku hanya pergi sekejap,
sebentar saja..aku kan segera kembali setelah meraih mimpi dan citaku. Paguntaka, tunggulah daku….
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Assalwa Community