Assalwa Community

Premium WordPress Themes

Search

Senin, 22 September 2014

Demi Cita....Ku tinggalkan Paguntaka



Oleh: Nurul Hidayah Sidar

Hatiku galau.  Senang, sedih, bahagia, pun duka bercampur jadi satu.  Betapa sangat berat hatiku meninggalkan tanah kelahiran tercinta ini.  Tempat ku lahir dan dibesarkan disalah satu  pulau terkaya yang dimiliki Indonesia, Tarakan Paguntaka.  Pun orang-orang yang hidup bersamaku didalamnya.  Sungguh berat  rasanya perpisahan ini
“ Udah bun, jangan nangis mulu dong,” kuulurkan tissue pada Bunda yang duduk disampingku
“kalau kamu diposisi Bunda juga bakal kaya’ gini..gimana sich rasanya bakal ditinggalain anak! Cewek satu-satunya lagi..hu..,”Bunda kembali terisak.
“gimana dong Yah? ,”
Ayah hanya mengulum senyum.  Kukira beliau merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan Bunda.
“tapikan Yaya Cuma sebentar Bunda,”kucoba kembali berdalih
“sayang, kuliah diluar negeri butuh waktu yang tidak sebentar,”
Aku terdiam.  Apakah aku salah mengambil keputusan?? ah..ku kira tidak, aku sudah memikirkannya matang-matang.  Menerima Beasiswa,  untuk kuliah di negeri Firaun.  Lagipula aku berjuang  keras mendapatkannya.
Pada awalnya keluargaku tidak keberatan.  Malah kakak laki-lakiku yang diSumatera itupun mendukung sepenuhnya kepergianku meninggalkan Bumi Paguntaka, tanah kelahiran tercinta.
“apa  sih yang nggak buat ilmu, demikian alasannya yang semakin membulatkan tekadku..
“Bunda, bukan maksud Yaya mau ninggalin Bunda..Bunda ngertikan..??,”
“Iya, Bunda ngerti..Bunda cuma pengen nangis aja, boleh kan,??”
Kuulurkan tissue untuk yang kesekian kalinya.  Bunda, andai kau tahu betapa ku menyayngimu.
“nak, check-in sekarang..??,” Tanya Ayah kemudian
“Jam keberangkatan masih sejam lagi Yah, lebih baik kita sholat Asar sekarang,”
Kami bertigapun menunaikan sholat Ashar dimushola Bandara Juwata.  Bunda sudah agak tenang.  Kulihat mata sayunya yang sedikit membengkak
“Bun..Bunda benar-benar ridhokan Yaya kuliah di Mesir..,”tanyaku pelan.  Sebenarnya aku tak ingin mengungkit pertanyaan ini lagi.  Tapi hatiku belum tenang.  Aku ingin kepastian dari Bundaku sayang.
“kalau dibilang ridho, sudah tentu Bunda ridho, toh Yaya ingin menuntut ilmu.  Tapi Bunda belum siap aja..ntar Bunda nyampe dirumah, Bunda gak liat putri cerewet Bunda lagi..,” pelan Bunda berkata
“sayang..nuntut ilmu juga bisa disini..,”lanjut beliau lebih pelan lagi.
“Bun..,”tegur Ayah
Aku menangkap nada kecewa Bunda.  Entah, sepertinya Beliau bimbang melepaskanku.  Atau mungkin Bunda masih membutuhkanku..
“Bun..bukannya Yaya tidak ingin kuliah disini, Yaya ingin pengalaman lebih, lebih banyak teman, merasakan alam pendidikan yang berbeda dari yang selama ini Yaya tahu..,”
“yang Yaya katakan benar Bun, kalau anak melakukan suatu yang baik, sebagai orang tua kita harus mendukungnya..,”
“iya, Bunda ngalah. Bunda bukan bermaksud menghalangi Yaya kuliah di Mesir, hidup mandiri dinegeri orang..Bunda bukan bermaksud seperti itu, Bunda Cuma..hu..hu..,”Bunda kembali terisak dipelukanku,Bundaku cinta,Bundaku sayang
Dadaku sesak,mataku panas.  Kalau bukan karena ingin menunjukkan ketegaranku didepan Bunda, tentu aku sudah menangis serta.  Tapi aku sedikt lega, ternyata Bunda ikhlas dan mendukungku sepenuhnya.  Teringat dirumah, setiap kutanyakan perihal ini pada Bunda, apakah Bunda setuju dengan keberangkatanku atau tidak, Bunda hanya diam tidak menjawab.  Sampai akhirnyabeliau bersedia menemaniku kebandara ini dengan sedikit paksaan Ayah.  Ah, entahlah
“nak, sepuluh menit lagi, sebaiknya kamu masuk keruang tunggu sekarang,”saran Ayah
Berat kuberdiri.  Kuambil tangan kasar Ayah dan menciumnya.  Ayahku, pejuang hidupku.
“sampai di Soekarno-Hatta, segera telepon Ayah, setiap transit di wilayah manapun, sempatkan untuk menelpon kerumah..”
“Iya Yah, Bun..Yaya pamit..doain Yaya Bun..,”kucium tangan Bunda dengan khidmat.  Tangan yang membesarkanku dengan penuh cinta dan kasih, hingga kubesar seperti ini.
“hati-hati sayang, doa Bunda selalu bersamamu, walau Bunda jauh dari Yaya, Bunda kan selalu  memantau dan menjaga Yaya..,”
 Bunda mencium kedua mataku. Ahh.. aku harus kuat.  Kulepaskan pelukan hangat Bunda.  Sebuah koper besar menemaniku keruang tunggu penumpang.  Beberapa menit kemudian, setelah check-out, sebuah bus mini membawaku dan penumpang lainnya menuju badan pesawat.
Mataku panas.  Tak kuat menahan air mata yang sedari tadi hendak keluar.  Bandara Juwata saksi bisu perpisahanku dengan kedua orangtuaku  terkasih.  Pesawat semakin meninggi..meninggalkan tanah kelahiranku, Tarakan Paguntaka.  aku hanya pergi sekejap, sebentar saja..aku kan segera kembali setelah meraih mimpi dan citaku.  Paguntaka, tunggulah daku….

 ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,