Oleh: Elisofana wati
Senja
ini sudah beberapa kali ku jumpai.
Pesona mega merah dan angin yang berhembus seakan-akan meneduhkan
lamunanku yang penuh kedamaian. Sinar matahari
yang memudar menandakan bahwa hari akan mulai gelap, dan suara adzan pun mulai
dikumandangkan.
Kring..kring..suara
Hp membuyarkan lamunanku.
“halo,halo,halo,”
suara yang tidak asing kudengar. Yaitu suara seorang wanita yang bertahun-tahun
telah menjagaku.
“Rima,
dimana kamu nak ? hari sudah mulai gelap, udara sore tak baik untukmu,” suara
bibi Fina diseberang sana.
“iya
Bi, aku pulang,” jawabku singkat
Dan
memang seharusnya aku pulang, tapi aku ingin membeli sesuatu untuk beliau. Tapi apa ? aku bingung. Namun aku harus
mengurungkan niatku karena hari sudah semakin senja. Pasti banyak toko yang sudah tutup. Aku harus bergegas sampai dirumah.
Creek!!
“Assalamualaikum bibi Fina,”
“Masya
Allah nak, dari mana saja kamu? Udara dingin begini. Nanti kamu sakit. Bibi tahu kamu pasti main ditaman itu
lagi. Iya kan?,” Tanya bibi Fina cemas.
“Iya
sih Bi. Soalnya hanya tempat itu yang
bisa bikin hati Rima senang,” jawabku
“Ya
sudah, sekarang ganti bajumu dan Sholatlah.
Sebentar lagi Ayahmu akan pulang.
Kamu harus menyambut Ayahmu dengan manis,”
Aku
beranjak dari hadapan Bibi, namun saat aku hendak mengambil mukenaku, tiba-tiba
ada sesuatu yang terjatuh dari dalam lemariku.ku temukan ada benda kotak kecil
yang tergeletak di lantai. Aku
benar-benar kaget dan saat membuka kotak kecil itu
“hah..Astagfirullah..!!
inikan kalung Ibu”
Tanpa
sadar pipi ini telah basah oleh air mata.
Kalung ini membuka kembali memori lamaku. Dimana lembaran kebahagiaan
selalu menyelimutiku dan kasih sayang Ibu yang dulu aku rasakan dan takkan
kumiliki lagi.
“Dimana
Ibuku sebenarnya?? Ya Allah apa yang
harus kulakukan untuk bertemu dengan Ibu..??”
“aku
harus tanyakan ini..!!”
Beberapa
saat kemudian Bibi Fina memanggilku.
“Rima,
ayo makan malam nak..Ayahmu sudah menunggu dimeja makan!!,”
“iya
Bi, aku segera turun!!,”jawabku segera
Kuayunkan
langkahku untuk turun keruang
makan.disana telah duduk seorang laki-laki yang sangat menyayangiku. Senyuman Ayah yang khas membuatku senang
melihatnya.
“sini
nak, duduk disamping Ayah,”
Setelah selesai makan kucoba tuk mengutarakan
apa yang selama ini menggangu Pikiranku
“Ayah
bolehkah kutanyakan sesuatu??,”
“tentu
saja nak, katakanlah,”
“Ayah tadi aku tidak sengaja menemukan kotak kecil
dan isinya adalah kalung yang selama ini Ayah katakan sebagai pernyebab
kepergian Ibu. Tapi sekarang kalung ini
telah kudapatkan Ayah, lantas dimana Ibu berada??,”
“Rima
sudah berapa kali Ayah katakan, lupakan
pertanyaan itu!!,”
“Ayah,
bagaimana mungkin aku lupakan. Sudah bertahun-tahun kurindukan wanita yang
telah melahirkanku itu. Ayah dimana Ibu? Kenapa Ayah membohongiku, Ayah katakan
bahwa selama ini Ibu pergi untuk mencari kalung wasiat keluarga ini, Ayah aku
bukan anak kecil lagi yang bisa Ayah bohongi.
Ayah, katakan dimana Ibu??,”
“Rima,Ayah
bilang cukup!!,”
Tiba-tiba
Bibi Fina datang karena teriakan Ayah yang keras.
“Astagfirullah,
kenapa kalian?,”
“Bi..mana
Ibuku Bi?? Mana Ibuku??,”aku menangis dipelukan Bibi Fina
“Rima
maafkan Bibi, selam ini Bibi juga telah menyembunyikan hal ini darmu. Sekarang akan Bibi katakan yang sebenarnya,”
“Fina,
apa-apaan kau!!,jangan katakan apapun!!”
“tidak!!
Seharusnya Kau sebagai Ayah menyesal karena
selalu membohongi anakmu,”kata Bibi Fina
“Rima
sebenarnya kepergian Ibumu bukan untuk mencari kalung itu. Tapi karena Ibumu sudah meninggal,”bibi mulai
menjelaskan
“Apa!!
Jadi selama ini Ibu sudah tiada..!!,”aku mulai syok mendengarnya.
“Rima
kamu masih ingat kejadian kecelakaan yang menimpamu dan ibumu dulu. Kamu ingatkan kamu masuk rumah sakit,”
“iya
Bi, aku ingat,”
“ketika
itu, kamu dan Ibumu terluka parah. Ibumu
mengalami kebutaan karena kedua bola matanya terkena pecahan kaca. Sedangkan
nyawamu hamper saja tidak tertolong.
Benturan yang terjadi pada dadamu membuat bagian organ tubuhmupun
mengalami cacat pada saat itu.
Kondisismu sangat kritis. Namun
setelah Ibumu siuman, meski dalam keadaan buta, saat itulah beliau berpesan
untuk mendonorkan semua organ yang dia miliki kepadamu. Ibumu pun berpesan
untuk tidak menceritakan kejadain ini, Dan dengan menjadikan kalung itu sbagai
kambing hitam atas kepergian Ibumu, itupun Ibumu yang minta.
Maafkan Bibi, nak!!selama ini Bibi berbohong. Tapi Bibi hanya menyampaikan amanat Ibumu,”
cerita Bibi panjang.
Semua
cerita yang keluar dari mulut Bibi benar-benar menyayat hatiku. Seorang yang sangat ku rindukan kehadirannya,
ternyata sudah tidak mungkin kulihat.
Dan hanya sebuah kalung yang indah yang ia tinggalkan, namun
keindahaanyalah yang menyayat hatiku.
Karena kalung ini hanya sebuah kalung kebohongan yang membuatku menderita.
- The End-
Assalwa Community